Oleh: Muhammad
Ramadhan Yusuf Djalil
(Ramadhan
& Brother Shoes)
Jln.
T. Iskandar No. 8 Ulee Kareng Banda Aceh
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Kritik sanad hadits merupakan kegiatan
ilmiah untuk membuktikan keotentikan suatu berita (hadits) dan bagian dari
upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang salah. Umat Islam terutama para ulama hadits memberikan
perhatian yang sangat besar dalam hal ini, baik khabar yang dipakai sebagai
penetapan suatu pengetahuan atau khabar tersebut berkaitan ucapan, perbuatan
dan ketetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW yang dijadiikan suatu
dalil (dasar hukum). Usaha ini bertujuan
untuk memelihara keotentikan hadits serta mengikuti jejak Nabi Muhammad
SAW, dengan berjalan di atas sunnah beliau, dalam rangka mencapai keridhlaan
Allah SWT.
Jauh sebelum kita, para pendahulu kita telah berusaha melestarikan
peninggalan Nabi ini dan menjaganya dari persangkaan negatif dan pemalsuan yang
ternyata banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, dengan berbagai kepentingan. Usaha
pemeliharaan hadits Nabi Muhammad tersebut dimulai dengan pembukuan hadits dan
diikuti dengan penelitian melalui proses yang sangat ketat berdasarkan
metodologi dan standart yang diciptakan secara sendiri-sendiri oleh
masing-masing peneliti, sehingga suatu hadits benar-benar dapat dipastikan
kesahihannya.
Dalam makalah ini penulis akan membahas beberapa hal berikut ini yaitu:
- Apakan
pengertian sanad, Urgensinya dan kapan awal mula pemakainnya?
- Bagaimana (fenomena) kritik sanad
dikalangan muhadditsin?
- Bagaimana kritik orientalis terhadap
sanad?
- Bagaimana balasan kritikan dari
beberapa pakar kontemporer terkemuka, semisal Fazlurrahman dan M.M.Azami?
Pemakalah mencoba untuk membahasnya dalam makalah ini sesuai dengan
pengetahuan dan kemampuan yang pemakalah miliki.
BAB II KRITIK SANAD HADITS
(Naqd
al-Sanad/kritik eksternal)
Pengertian
Kritik Sanad, Urgensinya dan Awal mula pemakainnya
A. Pengertian
Kritik Sanad
Secara terminologi kata kritik (naqd) berasal dari bahasa arab yaitu
berasal dari kata نقد
yang merupakan muradif dari kata تمييز
yang berarti membedakan. Dalam literatur ditemukan kata نقد yang diartikan dengan
kritik, hal ini digunakan oleh muhadditsin awal abad kedu, dilain tempat dikatakan bahwa maksud
dari kritk adalah memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk. Sementara secara etimologi kritik
merupakan usaha menemukan kesalahan atau kekeliruan dalam rangka mencari
kebenaran.
Sementara kata sanad, secara terminologi berasal dari bahasa arab tepatnya
dari kata سندyaitu muradif dari kata طريق Yang berarti jalan atau
sandaran. Sedangkan secara etimologi kata sanad dapat diartikan sebagai jalan
(rentetan perawi) yang menyampaikan kita kepada matan hadits.
Jadi berkaitan dengan hal ini pengertian kritik sanad yaitu
penelitian, penilaian dan penelusuran sanad hadits tentang kepribadian perawi
dan proses penerimaan hadits dari perawi sebelumnya, dengan usaha menemukan
kekeliruan (kesalahan) dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran. Dengan kata lain untuk memastikan kualitas hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang bersangkutan apakah kapsitasnya sebagai hadits dhaif, hasan ataupun
tergolong hadits shahih atau bahkan mungkin hadits palsu.
B. Urgensi
(tujuan) Kritik sanad dan Awal mula pemakaiannya.
Penelitian atau kritik sanad hadits dilakukan untuk memastikan dan
mengetahui kualitas suatu hadits berdasarkan tinjauan terhadap aspek sanad atau
rentetan perawi yang meriwayatkan hadits bersangkutan. Apakah hadits itu dapat digolongkan hadits
shahih, hadits hasan atau hadits dha’if. Sehingga bisa memperjelas kapasitas
hadits tersebut apakah bisa dijadikan sebagai dalil (landasan) dalam proses
istimbath hukum atau tidak.
Kegiatan kritik sanad belum muncul pada
masa Rasulullah SAW, bahkan lebih dari itu dikatakan pada masa shahabat besar
(khulafaurrasyidin) juga belum ditemukan kegiatan kritik sanad.
Bahkan para muhadditsin menganggap para shahabat yang meriwayatkan hadits pada
periode tersebut merupakan shahabat yang dapat dipastikan ke’adilannya karena
menurut mereka shahabat Rasulullah SAW adalah Adil.
Perhatian para muhadditsin mulai terpusat
pada persoalan sanad hadits ini tak terlepas dari ditemukannya hadits palsu
yang dikemukakan oleh orang-orang zindik yang dilatarbelakangi oleh berbagai
kepentingan baik kepentingan bisnis, politik, maupun karena faktor kefanatikan
pada mazhab atau aliran tertentu. Yang semuanya mengemukakan hadits palsu untuk
meletigimasi tindakan dan kepentingan masing-masing.
Versi lain mengemukakan bahwa
kegiatan kritik sanad hadits ini bermula sejak peristiwa terbunuhnya khalifah
Utsman Bin Affan oleh pemberontak. Maka
terjadi perpecahan aliran politik dan firqah dalam tubuh ummat Islam. Dengan
demikian bermunculan hadits-hadits amatiran (palsu) untuk melegitimasi
masing-masing kelompok tersebut. Sehingga proses transmisi hadits (sanad)
secara eksternal itupun mulai berlaku untuk memverifikasi tingkat keotentikan
hadits-hadits yang dikeluarkan oleh para perawi.
Sebagaimana
pernyataan Abdullah bin Al-Mubarak (w.181 H.): “sistem sanad itu merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam, bahkan sistem sanad itu merupakan
salah satu sisi keistimewaan umat Islam, yang tidak dimiliki oleh non muslim.
Dengan demikian seandainya umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah
al-Qur’an dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. sudah mengalami
nasib tragis seperti ajaran Nabi sebelumnya yang mengalami banyak perobahan. Dengan
kata lain dapat disimpulkan bahwa disinilah letak nilai utama dan urgensi sanad
dalam Islam.
Urgensi sanad ini akan lebih tampak apabila kita meneliti rawi-rawi hadits yang
membentuk sanad itu sendiri. Karena dengan meneliti sanad dapat diketahui
apakah silsilah rawi-rawi itu bersambung kepada Nabi SAW atau tidak. Sehingga
dapat diketahui kualitas hadits yang diriwayatkan itu apakah tergolong hadits
sahih, hasan atau dhaif (lemah) atau bahkan hadits palsu.
Secara umum faktor-faktor yang melatarbelakangi pentingnya penelitian
(kritik) sanad yaitu beberapa kenyataan berikut, diantaranya yaitu:
- Pada zaman
Nabi tidak seluruh hadits tertulis
- Sesudah zaman Nabi telah berkembang
pemalsuan hadits;
- Proses
penghimpunan (tadwin) hadits secara resmi dan massal terjadi setelah
berkembangnya pemalsuan hadits.
C. Kritik Sanad
dikalangan Muhadditsin
Para ulama hadits (muhadditsin) pada periode awal sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan dan menyalin suatu hadits, hal ini karena mereka menyadari bahwa
kapasitas sunnah itu sendiri sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran yang
akan dijadikan pedoman oleh ummat sepanjang masa, maka dengan demikian mereka
memandang bahwa sangat diperlukan kritik
(penelitian) terhadap suatu riwayat dengan sungguh-sungguh.
Secara garis besar ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadits
(muhadditsin) untuk melakukan kritik sanad (kritik eksternal), yaitu:
1. Hadits sebagai salah satu sumber
ajaran Islam.
Telah menjadi suatu kesepakatan ulama bahwa kedudukan hadits
sebagai salah satu sumber ajaran Islam (yaitu sumber kedua setelah Al-Quran),
meskipun tak dapat dipungkiri juga bahwa dalam sejarah tercatat ada sekelompok
kecil umat Islam
yang menolak otoritas
hadits (sunnah) sebagai sumber hukum Islam yang dikenal dengan sebutan Inkar
al-Sunnah.
Berkenaan dengan kedudukan hadits dalam
proses penetapan hukum Islam sangat jelas ditegaskan dalam oleh Allah SWT dalam
Al-Quran, hal ini bisa didapatkan dalam banyak tempat (ayat), diantaranya yaitu
Al-Quran surat
Ali-Imran ayat: 32 yaitu:
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur (
bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w =Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌË
Artinya :
katakanlah ta’atilah Allah SWT
dan Rasul-Nya, maka jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah SWT tidak
menyukai orang-orang kafir (ingkar) (QS. Ali-Imran: 32).
Ayat diatas menegaskan kepada kita bahwa
orang-orang yang tidak mengikuti perintah Allah SWT (Al-Quran) dan Rasul-Nya (Al-hadits
atau sunnah) termasuk orang yang ingkar (kafir), jadi mengikuti Al-Quran dan
Al-hadits (sunnah) merupakan dua hal yang tidak ada bedanya dalam menjalankan
agama (syari’at) Allah SWT termasuk dalam mengistimbath hukum. Dan masih banyak
ayat-ayat lainnya yang mengutarakan hal yang senada dengan ayat ini.
Karenanya kritik terhadap sanad hadits
adalah upaya mengangkat (mempertegas kapasitas) derajat hadits sebagai sumber
kebenaran ajaran Islam secara proporsional dari keterpurukan pemahaman kelompok
inkar al-sunnah terhadap hadits.
2. Tidak seluruh hadits tertulis
pada zaman Nabi.
Periwayatan hadits pada era Nabi hanya
sebagian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir dan periwayatan hadits
yang terbanyak berlangsung secara ahad. Hal ini tidak terlepas dari beberapa
faktor berikut ini yaitu : proses penyampaian hadits tidak selalu dihadapan
sahabat Nabi yang pandai menulis. Fokus perhatian Nabi sendiri dan para sahabat
lebih tertuju pada pemeliharaan al-Qur’an.
Selain itu para sahabat yang menjadi
sekretaris Nabi hanya menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi dan sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan,
taqrir, dan hal-ihwal seseorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh
orang lain dengan peralatan yang serba sederhana, sehingga periwayatan hadits
lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada secara tertulis.
3. Munculnya Pemalsuan Hadits.
Berkenaan dengan kapan pastinya awal mula
kemunculan pemalsuan hadits, namun ada yang mengatakan hal ini baru berkembang
pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib (jumhur ulama)
,
walaupun tidak mustahil terjadi sebelum itu, karena sejatinya pertentangan
politik antara sesama umat Islam sudah terjadi ketika nabi baru saja wafat.
Pemalsuan
hadits tersebut
diantaranya dilatar belakangi oleh kepentingan politik, teologi, mazhab fiqih,
bahkan ada yang hanya dilatar belakangi oleh tujuan yang sungguh sangat tidak
bisa ditolerir yaitu untuk menyesatkan orang lain yang mengikuti hadits
tersebut.
4. Proses Pentadwinan (Penghimpunan)
Hadits.
Pasca berakhirnya periode Umar bin Khattab
,
tidak ada khalifah yang memberi kebijakan untuk pentadwinan hadits Rasulullah
SAW, terkecuali khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz’ (w.101 H/720 M). Namun demikian
hal ini tidak dengan serta merta mengindikasikan bahwa masa sebelum Umar bin
Abdul Aziz tidak ada pencatatan hadits, akan tetapi pencatatan itu masih
bersifat pribadi-pribadi (personal), barulah pada masa ‘Umar bin ‘Abdul Azis
pembukuan hadits dilakukan secara massal.
Lagi pula baik kalangan sahabat dan al-thabi’in tetap bertumpu pada metode
penghafalan, bahkan lebih jauh dikatakan bahwa sebagian dari mereka mencela
penulisan hadits, hal ini tak terlepas dari kontroversi mengenai boleh atau
tidaknya penulisan hadits atau secara lebih tegas penulisan hadits dilarang atau
dianjurkan.
Keempat faktor di atas inilah yang
mendorong ulama untuk mengadakan peneleitian sanad hadits. Hal ini dilakukan
oleh para ulama hadits karena sanad adalah bagian yang menentukan dari
pengetahuan hadits, dan dalam praktiknya sanad hadits selalu menjadi perhatian
khusus para ulama hadits.
D. Kritik Orientalis Terhadap Sanad dan
Balasan kritikan dari beberapa pakar kontemporer terkemuka, semisal
Fazlurrahman dan M.M.Azami
Pembukuan hadits secara resmi baru
dilakukan pada masa Umar Bin Abdul Aziz (khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh
setelah Nabi wafat. Panjangnya rentang waktu ini, bagi orientalis merupakan
peluang terbesar untuk mengkritik hadits.
Perhatian orientalist terhadap peradaban Timur terutama Islam amat besar.
Perhatian itu tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ilmu tetapi juga
mempelajari kekuatan Islam ketika mereka
(barat) kalah dalam perang salib. Pusat perhatian utama mereka
adalah Al-Quran kemudian pada al-Hadits.
Intinya mereka umumnya menyatakan bahwa keotentikan Al-hadits diragukan sebagai
sabda Rasulullah SAW
,
karena panjangnya rentang waktu pengondifikasiannya. Terlebih lagi, ketika
masih Hidup, Nabi pernah melarang penulisan hadits oleh para sahabat.
Ignaz Goldzhier merupakan orientalist
pertama yang mengkritik hadits dan ilmu hadits secara sistematis dengan metode ”Historical
Criticism”-nya, sedangkan Joseph Schacht (JC) merupakan penerus Goldziher
(GZ) dengan kritik yang lebih canggih dan merupakan peletak fondasi bagi hampir
seluruh kajian Al-Hadits orientalist masa sesudahnya.
Diantara statemen Ignaz Goldziher
berkaitan dengan hadits yaitu Hadits menurutnya tidak lebih kecuali hanya
sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan
tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat
Hadits yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Pendapat Goldziher (GZ) ini
tertulis dalam bukunya
Dirasah Islamiyah, yang kemudian dijadikan “
kitab
suci” oleh para orientalist berikutnya, dimana para orientalist berkiblat
padanya.
Untuk menjawab anggapan miring tersebut
M.M Azami dalam bukunya Studies In Early “Hadith” Literature sebagaimana
yang dinukilkan oleh Nawir Yuslem dalam karyanya yang berjudul Ululmul
Hadis, membagi periodisasi pengumpulan hadits kedalam empat fase yaitu:
- Periode
pengumpulan dan penulisan hadits oleh para sahabat.
Pada fase ini lebih kurang tercatat yang
mencatat hadits yang diterima dari Rasulullah SAW, diantara sahabat tersebut
yaitu abu Bakar as-Siddiq, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud,
dan lain-lain.
- Periode
pengumpulan dan penulisan hadits oleh para tabi’in ( Abad I Hijriyah)
Pada fase ini menurut Azami kurang lebih
terdapat 49 tabi’in yang menuliskan hadits Rasulullah SAW, antara lain yaitu
Abdurrahman Bin Abdullah Bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Urwah bin Zubair, dan
lain-lain.
- Periode
pengumpulan dan penulisan hadits pada akhir abad I dan awal abad ke II
Hijriyah.
Pada fase ini tercatat 80-an lebih tabi’in
dan tabi’ tabi’in yang yang menulis hadits Rasulullah SAW, diantaranya yaitu
Amru bin Dinar, Muhammad ibn Muslim bin Syihab az-Zuhri, dan lain-lain.
- Periode
pengumpulan dan penulisan hadits pada abad ke-II Hijriyah
Pada periode ini Azami menyatakan bahwa
terdapat 251 ulama yang menulis hadits Rasulullah SAW, diantaranya yang paling
masyhur yaitu Malik bin Anas, Abu Hanifah dan lain-lain.
Jadi
menurut Azami sangat tidak beralasan jika para orientalis tersebut meragukan
keotentikan hadits Rasulullah SAW hanya dengan alas an bahwa hadits baru
dikodifikasikan pada abad ke dua hijriyah, yang masanya sangat jauh dari masa
Rasulullah SAW sehingga tidak terjamin lagi keotentikannya, apa lagi dengan
tuduhan bahwa hadits menurutnya tidak lebih kecuali hanya sebagai produk
perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in. Dengan
kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat Hadits yang
kemudian dinisbahkan kepada Nabi.
Alasan lain yang dia kemukakan yaitu: “Jumlah
hadits pada koleksi yang kemudian jauh lebih banyak daripada koleksi sebelumnya
dan juga hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lebih muda jauh lebih
banyak dibandingkan yang diriwayatkan sahabat yang tua. Bukankah ini
menunjukkan bahwa keaslian (keotentikan) Hadits harus dipertanyakan?”
Untuk merespon hal itu, sebagaimana
disampaikan Dr. Ugi Suharto bahwa: pengumpulan hadits secara besar-besaran
terjadi apabila para ahli hadits melakukan rihlah (perjalanan) mencari Hadits
. Dengan begitu maka Hadits
akan banyak yang berulang matannya karena bertambahnya isnad Hadits tersebut.
Lebih jauh M.M Azami menjelaskan bahwa mengembangnya jumlah isnad hadits tidak
terlepas dari metode yang ditempuh oleh ulama hadits dalam upaya mengumpulkan
hadits diman seorang menyampaikan hadits yang diterima oleh lebih dari satu
murid, dia mencontohkan Abu Hurairah dalam menyampaikan sebuah hadits diterima
oleh belasan muridnya yang terdiri dari 8 0rang yang berasal dari madinah, 1
orang dari kufah, 2 orang dari bashrah dan 1 orang dari yaman, serta 1 orang
dari siria.
Dan juga dengan banyaknya sahabat muda
dalam meriwayatkan hadits dibanding sahabat tua justru membuktikan bahwa hadits
yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos pada generasi
tabi’in yang memerlukan hadits untuk menyelesaikan masalah. Hadits yang pada
awalnya dalam simpanan hati para sahabat, kini mulai keluar untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
Dalam kacamata Islam, teramat disayangkan
apabila ilmuwan sekaliber Goldziher (GZ) tidak menelorkan pemikiran-pemikiran
yang positif, tetapi justru semakin memperdalam kubangan “neraka”nya. Terlalu ironis
kalau dikatakan bahwa ia tidak tahu akan kegiatan penulisan dan pemeliharaan
hadits pada masa awal, kekuatan hafalan orang-orang Arab pada waktu itu, daya
kritis para sahabat ketika datang/diajukan padanya sebuah hadits. Pada masa
tabi’in, kegiatan tulis menulis Hadits masih tetap berlangsung sebagaimana pada
masa sahabat. Pada masa ini, ada sebagian tabi’in yang hidup semasa dengan
sebagian usia para sahabat, kemudian dari merekalah mereka (tabi’in)
mendapatkan hadits. Dengan demikian,
kritik Goldziher (GZ) tentang ke-historis-an hadits tidak dapat diterima secara
ilmiah.
Lebih jauh dari itu para orientalis secara lebih mendalam mempertanyakan
kapasitas hadits Rasulullah SAW ditinjau dari aspek sanadnya, salah satu
orientalis yang sangan fokal dalam masalah ini yaitu Prof. Schacht
yang secara khusus mengkritik sanad hadits-hadits fiqh, ia berpendapat bahwa
isnad merupakan sesuatu yang “diada-adakan’’ dalam hadits Rasulullah
SAW, menurutnya hadits itu dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang
berbeda-beda yang mengaitkannya dengan kpd tokoh-tokoh terdahulu.
Pendapat Schacht ini diperkuat oleh orientalist lainnya yang bernama
Robson, menurut Robson sangat beralasan, dia mengatakan bahwa isnad baru
terdapat pada masa belakangan (jauh setelah hadits itu berkembang).
Lebih jauh Schacht juga mengomentari pernyataan
seorang muhadditsin dari kalangan tabi’in yaitu Ibnu Sirin, diman Ibnu Sirin
menyetakan bahwa usaha untuk memertanyakan (meneliti) sanad hadits Rasulullah
SAW telah dimulai semenjak terjadinya “Fitnah’’ ditengah ummat Islam,
dimana ketika itu orang tidak lagi dapat dipercaya dengan serta merta, tanpa
mengadakan penelitian (pembuktian) terlebih dahulu. Dalam mengomentari hal ini
Schacht menafsirkan bahwa fitnah yang dimaksud dalam pernyataan Ibnu Sirin
adalah peristiwa terbunuhnya Al-Walid (w126 H) ketika pemerintahan bani
Umayyah. Sementara Ibnu sirin sendiri wafat pada tahun 110 H.
Jadi dari fakta ini terbukti bahwa pernyataan Schacht sangat tidak
mendekati kebenaran.
Selain itu apa yang ditafsirkan oleh Schacht bahwa
fitnah dalam pernyataan ibnu sirin adalah terbunuhnya Al-Walid juga
sangat tidak mendasar, karena dalam catatan tarikh Islam yang dikenal dengan fitnah
itu adalah peristiwa perang saudara yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah
yang implikasinya masih sangat kentara sampai sekarang. Hal ini juga didukung
oleh kenyataan sejarah bahwa pemalsuan hadits (yang merupakan salah satu alasan
ulama hadits meneliti sanad) ditengah-tengah umat islam kebanyakan terjadi
dilatar belakangi oleh kepentoingan politik dan dalam hal ini sangat erat
kaitannya dengan perang yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah dimana
masing-masing kelompok ditengarai menggunakan hadits untuk menjustifikasi
kelompoknya masing-masing.
Selain itu menurut M.M.Azami, Schacht tidak
menggunakan metode yang tepat dalam melakukan penelitian hadits, dia lebih
tertuju pada hadits hadits fiqh yang terdapat dalam kitab fiqh dengan kata lain
dia tidak merujuk pada sumber aslinya (kitab hadits). Hal ini bisa dilihat dari
kebanyakan (bahkan secara umum bisa dikatakan) hadits yang menjadi objek
kritikan Schacht adalah hadit-hadits fiqh dimana menurut Schacht para ulama
fiqh dalam menuklilkan hadits tidak dilengkapi dengan sanad yang lengkap,
bahkan secara lebih detil Schacht menyimpulkan setalah mepelajari kitab-kitab
fiqh karangan Imam Malik (Al-Muwattha), karangan Imam Syafi’i (Al-Umm) dimana
didalamnya tercantum hadits-hadits yang tidak dilengkapi dengan sanadnya secara
lengkap.
Menanggapi hal ini M.M.Azami beranggapan bahwa pada dasarnya Schacht selain
menggunakan metode dan objek yang salah dalam mengkaji (sanad) hadits, dimana
ia (Schacht) tidak merujuk pada sumber yang seharusnya, Schacht sendiri tidak “menyadari’’
bahwa metode ulama-ulama fiqh menukilkan hadits (dalam kitab fiqh) berbeda
dengan metode yang digunakan oleh ulama hadits sendiri (dalam kitab hadits).
Dalam menukilkan hadits-hadits fiqh para fuqaha tidak “mesti semuanya’’
menyebutkan sanad (sumber) secara lengkap, tapi kebanyakan hanya dengan perawi
pertamanya saja, atau disebutkan tapi tidak secara lengkap, atau bahkan ada
juga yang disebut secara lengkap sampai ke Rasulullah SAW.
Jadi jelaslah bahwa kitab selain
kitab hadits (termasuk kitab fiqh) tidak tepat apabila dijadikan sebagai objek
kajian untuk meneliti sanad hadits Rasulullah SAW, krn meneliti hadits diluar
sumbernya yang asli akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat, oleh karena
itu penelitian (kritik sanad) yang dilakukan oleh orientalist seperti Schacht
adalah penelitian yang tidak menggunakan metode dan objek kajian yang tidak
tepat
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
- Kritik sanad yaitu penelitian,
penilaian dan penelusuran sanad hadits tentang kepribadian perawi dan
proses penerimaan hadits dari perawi sebelumnya, dengan usaha menemukan
kekeliruan (kesalahan) dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran.
- Penelitian atau kritik sanad hadits
dilakukan untuk memastikan dan mengetahui kualitas suatu hadits
berdasarkan tinjauan terhadap aspek sanad atau rentetan perawi yang
meriwayatkan hadits bersangkutan.
- Secara umum faktor-faktor yang
melatarbelakangi pentingnya penelitian (kritik) sanad yaitu beberapa
kenyataan berikut, diantaranya yaitu:
- Pada
zaman Nabi tidak seluruh hadits tertulis
- Sesudah zaman Nabi telah berkembang
pemalsuan hadits;
- Proses penghimpunan (tadwin) hadits
secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadits.
- Para ulama hadits (muhadditsin) pada
periode awal sangat berhati-hati dalam meriwayatkan dan menyalin suatu
hadits, hal ini karena mereka menyadari bahwa kapasitas sunnah itu sendiri
sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran yang akan dijadikan pedoman
oleh ummat sepanjang masa, maka dengan demikian mereka memandang bahwa
sangat diperlukan kritik (penelitian) terhadap suatu riwayat dengan
sungguh-sungguh.
- Perhatian orientalis pada masalah
hadits juga sangat besar diantara statemen Ignaz Goldziher berkaitan
dengan hadits yaitu Hadits menurutnya tidak lebih kecuali hanya sebagai
produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan
tabi’in.
- Menurut Azami sangat tidak beralasan
jika para orientalis tersebut meragukan keotentikan hadits Rasulullah SAW
hanya dengan alas an bahwa hadits baru dikodifikasikan pada abad ke dua
hijriyah, yang masanya sangat jauh dari masa Rasulullah SAW sehingga tidak
terjamin lagi keotentikannya, apa lagi dengan tuduhan bahwa hadits
menurutnya tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan
sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’ini.
- Penelitian (kritik sanad) yang
dilakukan oleh orientalist seperti Schacht adalah penelitian yang tidak
menggunakan metode dan objek kajian yang tidak tepat. Karena kitab selain
kitab hadits (termasuk kitab fiqh) tidak tepat apabila dijadikan sebagai
objek kajian untuk meneliti sanad hadits Rasulullah SAW, karena meneliti hadits
diluar sumbernya yang asli akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat,
karena cara fuqaha dan muhadditsin menukilkan hadits adalah dengan
menggunakan metode yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Bustami M.Isa
H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: Rajawali Pers, 2004
Depag, Alquran
dan terjemahan, Surabaya: Mahkota,1989
http//google.co.id
M.M Azami, Hadits Nabi dan sejarah kodifikasinya (Penerjemah
Ali Mustafa Yaqub), Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2004
M.M Azami, Memahami Ilmu Hadits: Tela’ah Metodologi Dan
Literature Hadis (penerjemah Meth Kieraha), Jakarta: Lentera, 2003,
cet.ke-3
Muhammad Al-Ghazali, Sunnah Nabi dalam Pandangan Ahli
Fikih dan Ahli Hadits, Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2008
Nawir Yuslem, ULUMUL
HADIS, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001
Nuraini, Otensitas
Sunnah, Analisis Pemikiran Fazlurrahman, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2006
Ramli Abdul
Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005
Lima kaidah kesahihan
hadits itu adalah:
a.
Sanadnya
bersambung.
b.
Seluruh periwayatan dalam sanad bersifat adil.
c.
Seluruh periwayat
dalam sanad bersifat dhabith.
d.
Terhindar dari syadz (kejanggalan).
e.
Terhindar dari illat (cacat).
Lebih lanjut baca: Bustami M.Isa H.A. Salam, Metodologi
Kritik Hadits, Jakarta:
Rajawali Pers, 2004, hal.24
M.M Azami, Memahami Ilmu (penerjemah Meth
Kieraha), Jakarta: Lentera, 2003, cet.ke-3,
Bustami M.Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadits,
Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hal.5
Diantara hadits nabi yang melarang itu adalah:
عن ابي
سعيدالحذري انّه قال: قال رسول الله صلعم: لا تكتبوا عنّي شياء إلاّ القرأن
ومن كتب غيرالقرأن فليمسحه... )رواه مسلم(
Artinya : “janganlah kamu menuliskan sesuatu dari ku kecuali Al-Quran dan
barang siapa yang menulis selain Al-Quran maka hapuslah!...(Hr.Muslim)
Namun, di hadits
lain, nabi membolehkan atau bahkan memerintahkan untuk menulis hadits. Misalnya
pada hadits
Meskipun terdapat
berbagai data pendukung yang kuat bahwa hadits Nabi telah dipelihara semenjak
periode awal (sahabat), para ORIENTALIST terus saja mencari-cari peluang untuk
menyalahkannya. Mereka menyatakan, hadits Nabi tidak pernah dibukukan sampai
pada awal abad ke-2 H. Atas dasar ini, mereka berkesimpulan, bahwa pada kurun
waktu yang panjang ini, keberadaan Hadits tersia-sia. Alasannya karena hadits
belum ditulis dalam artian dibukukan. Implisitnya, keotentikan hadits Nabi
sangat diragukan dan cenderung ditolak, lebih jauh, hadits tidak mungkin dapat
dijadikan hujjah atau sumber hukum.
M.M Azami, Hadits Nabi dan sejarah kodifikasinya (Penerjemah
Ali Mustafa Yaqub), Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2004…, hal. 534
M.M Azami, Hadits Nabi …, hal. 535
M.M Azami, Hadits Nabi…, hal.536
M.M Azami, Hadits Nabi …, hal. 538-547