KETIKA KITA TERTINGGAL, SIAPA YANG SALAH“?”
Oleh Muhammad Ramadhan Yusuf Djalil
Konon
suatu hari ada seorang anak yang lagi duduk di sisi kiri bagian depan
sebuah toko “tempat usaha kecil-kecilan” dengan berbekalkan sebatang
pena biasa yang bertinta hitam, serta dilengkapi dengan sebuah buku
bekas yang dijadikannya sebagi “tempat dan teman setia” untuk
mencurahkan segenap unek-unek yang terlintas dan terus mengganggu serta
mengusik kesendiriannya.
Dengan nada “cemas dan penuh keraguan” dia berkata:
“Aku hanyalah seorang anak manusia yang dibekali dengan “hobby” membaca,
bacaan ku pun tidak lebih dari sekedar Koran bekas yang setiap tanggal
berganti senantiasa memenuhi, menyesaki dan mendiami pojok ruangan atau
bahkan menjadi penghuni regular tong sampah”.
Tapi dengan “nada menantang” ia berkata: “Izinkan aku untuk mendengarkan
sedikit orasi dan relakanlah aku menikmati “secercah” cahaya yang
berupa sebuah jawaban yang kalaupun “sama sekali tidak penting menurut
anda tapi bisa begitu berharga bagi saya”, saya yakin kalau
saudara-saudara adalah orang pertama dan yang paling rutin mengisi meja
yang kosong di setiap perpustakaan yang begitu mewah dan dibanjiri
dengan jutaan bahkan miliaran “hasil pemikiran” yang begitu ilmiah dan
rasioanal tentunya. Atas dasar keyakinan itulah saya “menggantungkan”
segenap harapan yang saya punya agar saudara berkenan untuk menjawab
pertanyaan saya berikut ini:
Pertama: “saya rasa anda adalah orang Indonesia, setiap warga Negara
Indonesia berkewajiban untuk menjunjung tinggi setiap ketentuan yang
berlaku di Indonesia, dan pancasila adalah dasar NKRI yang wajib
dijunjung tinggi oleh setiap WNRI, jadi menurut saya anda sebagai warga
negara indonesia berkewajiban untuk menjunjung tinggi PANCASILA” nah
atas dasar itu saya melemparkan sebuah pertanyaan kepada anda: “sebagai
WNRI yang budiman, apakah anda setuju jika ada orang yang mengatakan
bahwa indonesia menjadi sebuah negara yang tidak pernah maju dan
terhambat perkembangannya, dikarenakan oleh “Dasar PANCASILA” yang
salah? Atau karena indonesiannya “ WNRI nya” yang tidak benar dalam
mengamalkan pancasila?
Ke-dua: “saya yakin anda adalah orang Islam, dan setiap kaum muslimin
berkewajiban untuk menjunjung tinggi setiap ketentuan yang yang
disyari’atkan oleh Allah SWT, dan Syari’at islam adalah aturan yang
wajib dijunjung tinggi oleh setiap muslim, jadi menurut “dugaan” saya
anda adalah muslim yang ta’at sebagai muslim anda berkewajiban untuk
menjunjung tinggi Syari’at islam”. Nah atas dasar itu saya melontarkan
sebuah pertanyaan kepada anda: “sebagai MUSLIM yang ta’at, apakah anda
setuju jika ada orang yang mengatakan bahwa orang islam menjadi kaum
yang tertinggal dan terhambat kemajuannya, dikarenakan oleh “Dasar
syari’at islam” yang salah? Atau justru karena MOESLIM nya yang tidak
benar dalam mengamalkan Syari’at islam?
Ke-tiga: “bagaimana reaksi anda, apakah anda setuju atau sebaliknya anda
akan marah ketika ada yang mengatakan: indonesia tidak pernah maju dan
terhambat perkembangannya dikarenakan “oleh kenyataan sejarah” bahwa
tempoe dulu indonesia pernah dijajah oleh belanda, dan karena itu
indonesia tidak bisa maju sampai sekarang? ”.
Ke-Empat: “Apa yang anda rasakan, apakah anda setuju atau sebaliknya
anda akan marah ketika ada yang mengatakan bahwa: ummat Islam dan
pemikirannya tidak pernah maju dan terhambat perkembangannya dikarenakan
“oleh kenyataan sejarah” bahwa tempoe dulu dikalangan ummat islam “ada
seorang pemikir” yang bernama Al-Ghazali yang pernah “membekukan”
perkembangan pemikiran Islam dan karena itu Islam terus tertinggal dari
barat sampai sekarang?
C.A Qadir dalam karyanya Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam yang
mencoba mentafsirkan secara rinci tentang akumulasi penyebab “yang tidak
tunggal” kemunduran dan ketertinggalan ummat islam dalam percaturan
ilmu pengatahuan dan filsafat dalam Islam adalah sebagai berikut:
Penjarahan dikota Baghdad, dimana pada dasarnya semenjak abad ke-12
telah terjadi keruntuhan tepatnya pada masa Changiz Khan (1155-1227)
yang diteruskan oleh cucunya Hulagu Khan (1217-1265) yang telah
memporak-porandakan dunia Islam, kota-kota dimana terdapat perpustakaan
dan kekayaan-kekayaan “referensi” intelektual muslim telah dimusnahkan,
para sarjana dibunuh, bahkan “bayi” calon intelektual yang masih didalam
kandungan pun ikut dijadikan sebagai sasaran yang mengakibatkan
runtuhnya kejayaan islam pada pertengahan abad ke-13, yang kemudian
dunia muslim jd kacau balau, dan runtuhnya tradisi intelektualitas itu
sendiri.
Pengaruh dari filsafat Yunani, dalam bukunya The Reconstruction of
Religious thought in Islam Alla Muhammad iqbal mengemukakan bahwa salah
satu penyebab utama “kebekuan” intelektualitas dikalangan ummat Islam
adalah diterimanya paham dan pemikiran-pemikiran filsafat yunani (atau
yang sering disebut dengan Aristotalianisme) dimana filsafat yunani
tidak menekankan hal-hal yang partikular seperti yang di gariskan oleh
Al-Quran, bahkan imam Alghazali menyuarakan perlawanan yang sangat keras
terhadap kenyataan semacam ini (lihat tahafut al-falsifah). Bahkan
berkenaan dengan kenyataan ini seorang ahli filsafat zaman post moderen
seperti sekarang ini yang bernama Karim Douglas Crow, yang merupakan
seorang sarjana blasteran dari amerika dan lebanon dalam sebuah diskusi
ilmiah yang diselenggarakan di gedung direktur PPs IAIN Ar-Raniry
mengemukan bahwa: penyebab utama keterhambatan perkembangan
intelektualitas dikalangan muslim yaitu terjebaknya pemikir “muslim”
dalam arus pemikiran yunanian yang secara nyata menentang aspek
metafisika dalam pemikirannya. Padahal sejatinya metafisika itulah yang
merupakan dasar dari segala wujud-wujud lainnya. Menurut Al-Farabi
metafisika adalah jantungnya pengetahuan dalam Islam. Menurut pemikiran
Al-Farabi dan jajarannya kata-kata yang dipopulerkan oleh filsafat barat
yang berbunyi : “Karena Aku Berfikir Makanya Aku Ada” adalah sebuah
statemen yang menuhankan manusia, idealnya menurut pikiran filsafat
islam adalah : “Karena Aku Berfikir Maka Aku Menyadari Sesuatu Yang Ada”
yang berada dalam dimensi metafisika yaitu Al-Wahidul Al-Haq Al-Awwal
yaitu Allah SWT. Sementara filsafat dan pemikiran barat mengeliminasi
pembahasan tentang metafisika yang tumbuh subur dimasa kejayaan
pemikiran Islam.
Peranan Al-Ghazali, mungkin hal inilah yang paling menarik dan paling
banyak dibicarakan oleh “Intelektual” kita. Hal ini dikatakan menarik
karena dalam realitasnya Al-Ghazali dituding “walau secara tidak
langsung” sebagai “juru kunci” yang telah membekukan dan menutup pintu
ijtihad dikalangan kaum muslimin. Sejujurnya jika kita bisa menangkap
dan mengambil “spirit yang tersirat dalam tulisan Al-Ghazali Dalam
Al-Mungqid Minaddhalal Al-Ghazali menyatakan bahwa: Sejak muda sebelum
dua puluh tahun, sampai saat ini ketika saya lebih dari lima puluh, saya
tidak berhenti untuk menyelidiki ke kedalaman laut dalam (dari berbagai
kepercayaan umat manusia), untuk terjun ke kedalaman yang berani, bukan
sebagai pengecut berhati-hati, untuk mengubur diri dalam pertanyaan
tidak jelas, penuh semangat merebut atas kesulitan dan melompat dengan
berani menjadi masalah yang sulit dan tidak jelas, dan untuk meneliti
keyakinan firqah masing-masing, memeriksa dari sudut pandang ajaran yang
segi tersembunyi dari setiap kelompok agama...’’ jelaslah: betapa
“kentalnya’’ daya kritis yang dimiliki oleh Al-Ghazali, yang sayangnya
kita hanya “terperangkap’’ dalam apa yang di nilai dan dikampanyekan
oleh sebagian kalangan bahwa al-Ghazali telah mematikan daya krits
ilmiah dikalangan umat islam dengan berbagai teori tasaufnya.
Mazhab-mazhab fiqh, selain yang telah diungkapkan di atas para pakar
fiqh juga mempunyai peranan yang sangat penting dan lumayan krusial
dalam percaturan pemikiran dikalangan kaum muslim itu sendiri, hal ini
terlepas dari ketidak mampuan kita dalam merasionalisasi berbagai aturan
dan ketentuan yang mereka gariskan dalam hal membatasi dan memberikan
“legitimasi” bagi setiap orang yang hendak berijtihan, dengan berbagai
ketentuan yang “digariskan” oleh para fuqaha tersebut. Dalam hal
berijtihad para fuqaha senantiasa bersandar pada empat sumber utama
yaitu Al-Quran, Al-hadis, ijma’ dan qiyas. Pen: Bahkan kalau kita mampu
memahami tujuan dibalik berbagai ketentuan yang ditetapkan tersebut
tidak tertutup kemungkinan kita akan “berhenti” mendiskreditkan dan
mengkambing hitamkan mereka (fuqaha), kalaupun “enggan” menjadi pengikut
dan pengamal setia aturan yang mereka tetapkan.
Mistisisme asketik (zuhud), suatu faktor lainnya yang berperan dalam
terhambatnya perkembangan intelektual dikalangan muslim menurut C.A
Qadir yaitu tumbuh suburnya pemahaman zuhud dikalangan ummat Islam yang
mematikan atau paling tidak melesukan semangat penelitian ilmiah
(ijtihad) dikalangan ahli zuhud khususnya dan ummat islam pada umumnya.
Kekhawatiran dari para penguasa, menurut Munir Khan seorang pemikir yang
berkebangsaan pakistan, awal kemunduran pemikiran dikalangan ummat
islam juga tidak terlepas dari kecemasan yang berlebihan yang menghantui
para penguasa yang menganggap bahwa perkembangan intelektual akan
mengancam “kekuasaan” mereka secara tidak langsung, kekuasaan muthlak
mereka akan terusik oleh perkembangan pemikiran rakyathya.
Dari seuntaian “coret moret” di atas saya hanya bisa berharap lahir dan
suburnya sebuah semangat sportivitas yang penuh tanggung jawab dan
terbuka untuk mengakui secara jujur dan menjawab dengan cara yang lebih
dan nyata dari berbagai persoalan yang kita hadapi, yang selama ini
“sebagian” dari kita “sering kali” menganggap Al-Ghazali sebagai biang
keladi “keterpurukan” kita “kalupun iya dan benar” yang pada realitanya
Al-Ghazali telah sangat lama meninggalkan kita yang selama ini
barangkali “masih asing dikalangan kita”, apa lagi kalau kita mau secara
lebih terbuka untuk “mencermati” kembali bagaimana semangat dan power
yang dimiliki oleh seorang Al-Ghazali yang telah mampu menelurkan
berbagai pemikiran yang mampu mewarnai dunuianya, yang barang kali
ataupun bisa dikatakan “dengan pasti” bahwa kita dan saya rasa sampai
sekarang tidak ada dan belum ada yang mampu mendekati, mengimbangi apa
lagi menyaingi dan mengungguli kemampuannya.
Nah ketika kita tertinggal dalam segala aspek kehidupan, dari ekonomi,
pendidikan, ke-agamaan, teknologi, dan lain sebagainya, Pantaskah kita
“terus” menyelahkan “orang lain”? dan mengkambing hitamkan “orang lain”
atas kegagalan yang menimpa kita? Bukankah itu “sejatinya” sebuah sikap
dari seorang atau segerombolan dari pecundang? Yang hanya nekad untuk
menyalahkan? Tanpa dibekali sebuah kemampuan untuk memberikan sebuah
jawaban?
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Alumni dayah Riyaadhusshalihiin, Ateuk Angguk Aceh Besar)