KMP PENGEKANG KEMERDEKAAN DI NEGARA MERDEKA!
Oleh:
Muhammad Ramadhan Yusuf, MA
Mahalnya kemerdekaan di negara merdeka!
Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah ketika semua hak manusia dapat terjamin dan terpenuhi secara adil.
Ajaran
Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist secara sagat tegas dan
mendasar menegaskan bahwa “Tidak (sempurna) iman seseorang hingga ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya” “Orang islam itu
adalah orang yang saudaranya selamat dari tangannya”
Sejalan
dengan penegasan di atas, di Negara Indonesia secara konstitusional
telah ditegaskan bahwa semua hak-hak warga Negara dijamin dengan sangat
baik oleh Negara melalui undang-undang, dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang merupakan dasar konstitusi NKRI di tegaskan bahwa
“kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh karena itu maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusian dan peri keadilan”.
Nah
dari dasar penegasan di atas jelaslah bahwa secara azasi (fitrah) dan
konstitusi, Agama Islam dan konstitusi Indonesia sangat menjunjung
tinggi kesetaraan serta menjamin hak setiap ummat (warga negaranya)
untuk hidup secara aman, bebas dan merdeka. Keamanan, kebebasan dan
kemerdekaan tersebut mengandung makna yang sangat luas tidak hanya
sebatas kenyataan bahwa sebuah Negara telah berdaulat secara defacto
maupun secara dejure, punya wilayah, penduduk, pemerintahan, bendera
sendiri maupun punya duta besar serta perwakilan sendiri, namun yang
jauh lebih esensial dari itu semua yaitu setiap warga Negara dapat hidup
secara aman, bebas dan merdeka dari penjajahan, penindasan, pembodohan
serta dari kemiskinan tentunya.
Idealnya
di sebuah Negara yang merdeka yang menganut sistem demokrasi rakyatnya
hidup secara merdeka, semua haknya terjamin, hak untuk hidup,
berserikat, bersuara, berkarya serta hak untuk menentukan pilihan
politik secara bebas dan merdeka sesuai dengan pilihan hatinya sendiri,
sehingga nasib dan kehidupan warga Negara benar-benar berada tangan
mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan inti dari demokrasi itu sendiri
yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyat bukan menjadi babu, kuda
tunggangan, juga bukan sebagai alas kaki bagi penguasa.
Sejarah demokrasi
Secara
historis, Sejarah mencatat suatu hal yang penting berkenaan dengan
demokrasi pada abad pertengahan, yakni lahirnya dokumen ‘Magna Charta’,
suatu piagam yang berisikan semacam perjanjian antara beberapa bangsawan
dan Raja John di Inggris, bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak
dan ‘previleges’ bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi
keperluan perang dan lain-lain. Lahirnya piagam ini dapat dikatakan
sebagai tonggak awal bagi perkembangan demokrasi. Sebab dari piagam
tersebut terdapat dua prinsip dasar, yakni kekuasaan raja harus dibatasi
dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja (lihat
Ramdlon, 1983: 9).
Sementara dalam
konteks kekinian, dalam realitasnya akhir-akhir kita mendapati suatu
kenyataan yang sangat kontradiktif dengan semangat awal lahirnya
demokrasi tersebut, semakin hari rakyat semakin merana ketika dihadapkan
oleh kenyataan bahwa berbagai kebijakan pemerintah bertujuan untuk
mengebiri hak rakyat baik secara langsung atau tidak langsung dan
mengukuhkan absolutisme penguasa, dulunya (dalam catatan sejarah)
kekuasaan dialihkan penguasa kepada rakyat sebagai imbalan atas bantuan
rakyat kepada penguasa dalam bentuk penyerahan dana dan bantuan bagi
keperluan perang sehingga kedaulatan tetap terjaga, realitas sekarang
seakan semakin jelas menunjukkan arah yang sangat kontradiktif, di mana
Penguasa “secara tidak langsung” menuntut kekuasaan dari rakyat sebagai
imbalan atas “jasa berupa pemberian atau bantuan” yang telah diberikan
penguasa selama perjuangan (kampanye) untuk meraih kekuasan melalui
proses yang bercoverkan demokrasi, bukankah ini sangat berlawanan dengat
semangat demokrasi? Terlalu berlebihankah ketika dikatakan bahwa dalam
konteks hari ini demokrasi telah di jadikan sebagai alat atau cara untuk
menegakkan penjajahan?
Demokrasi elitis.
Demokrasi
elitis, melihat bahwa rakyat sebagai orang yang tidak perlu dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan publik, karena rakyat dianggap tidak
mampu dan tidak berwenang untuk menyelesaikan persoalan-¬persoalan yang
kompleks dalam masalah¬masalah pemerintahan. Selain itu rakyat lebih
baik apatis dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan-tindakan yang
merusak budaya, masyarakat dan kebebasan (Walker, 1987: 3). Dalam
konsep ini rakyat dianggap sudah “cukup” berperan dalam kehidupan negara
melalui penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan secara periodik
dalam negara. Melalui pemilihan umum, rakyat sudah melakukan hak dan
kewajibannya sebagai warga Negara.
Realitas
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa suara rakyat semakin tidak berharga,
rakyat terus di abaikan, suara rakyat tidak lagi menjadi pertimbangan
apa lagi pedoman dalam setiap kebijakan pemerintah, rakyat membutuhkan
lapangan kerja, rakyat membutuhkan pendidikan, rakyat membutuhkan
kesehatan namun hal ini sama sekali tidak menjadi prioritas bagi
pengambil kebijakan, yang terlihat malah sekelompok elit yang terus
memperlihatkan dan mepertotonkan serta mengaskan kedigdayaanya, semua
kebijakan di arahkan untuk kepentingan penguasa semata, untuk memagari
kekuasaanya untuk terus merajai rakyatnya! inikah tujuan dari
demokrasi? Haruskah cara berdemokrasi semacam ini (demokrasi elitis)
yang dipertahankan? inilah lahan subur bagi faham dan ideologi
kapitalisme!
Dilema dalam kehidupan berdemokrasi.
Sebagai
rakyat yang hidup di Negara demokrasi, sebagai warga Negara yang sadar
akan haknya, pemilu legeslatif dan eksekutif merupakan suatu ritual
demokrasi yang harus di ikuti dan dimanfa’atkan sebaik-baiknya, untuk
dapat merobah dan memberikan perobahan kehidupan ke arah yang lebih adil
dan sejahtera, rakyat Indonesia umumnya dan Aceh kususnya dihadapkan
pada sebuah kenyataan yang penuh dilema, disatu sisi mereka ingin
berpartisipasi untuk memberikan suaranya dan menentukan pilihannya
dengan harapan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan salah satu
tahapannya yaitu dengan mengikuti pemilu legeslatif, di mana rakyat
memilih para wakilnya untuk mengisi parlemen yang akan melegislasi
berbagai regulasi dan kebijakan yang akan mengutamakan rakyat, bukan
hanya parpol pengusungnya, di sisi lain rakyat dihadapkan pada kenyataan
pahit bahwa untuk kesekian kalinya rakyat telah dikibuli oleh para elit
Bahkan hak rakyatpun untuk berpatisipasi dalam pemilu eksekutifpun
"ingin" dikebiri dengan lahirnya UU PILKADA yang baru yang diprakarsai
oleh Kelompok Mafia Politik yang tergabung dalam KMP di DPR RI yang
mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD, ini semakin mempertegas
bahwa Para anggota legeslatif telah gagal menjalankan peranannya dengan
baik, suara rakyat telah ditenggelamkan oleh kekuasaan elit (Parpol)
baik partai politik lokal maupun partai politik nasional, anggota
legeslatif yang seharusnya menjadi perwakilan dan corong aspirasi
rakyat, malah mengabaikan suara rakyat sebaliknya lebih menyuarakan
suara partai yang mengendalikannya.
Sebagai
penutup tulisan ini, penulis berharap semoga rakyat semakin cerdas
dalam menilai dan memilih sehingga kedepan suara rakyat benar-benar
dapat mengubah kehidupannya ke arah yang lebih baik.